Perjanjian di Depan Allah
1.      Memulai aktifitas dengan sholat shubuh berjama’ah di masjid terdekat -lebih baik lagi jika bisa bangun sebelum shubuh dan sholat tahajjud dahulu- lantas kita berdzikir, bermunajat, dan berdoa menghadap Allah sampai terbitnya matahari.
2.   Ketika mendengar suara adzan di mana pun kita berada dan dalam keadaan apapun, maka kita harus cepat-cepat menuju ke masjid terdekat untuk melakukan solat berjamaah. Karena seorang muslim yang selalu menuju dan mengungsi ke rumah Allah lima kali dalam sehari semalam, maka aktifitas keduniaannya tidak akan membahayakannya.
3.  Berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak menggunakan umur kita yang berharga kecuali untuk taat pada Allah, bekerja untuk mencari ilmu atau rizki yang halal, dan untuk beristirahat ketika merasa bosan dan lelah.
4.   Ketika kita hendak tidur, maka kita harus membayangkan bahwa kemungkinan tidur ini adalah tidur untuk selama-lamanya, tidur terakhir kita di alam dunia. Sebelum tidur, kita mengingat-ingat umur kita yang telah lalu yang kita gunakan untuk permainan dan maksiat. Lalu kita beristighfar kepada Allah dengan perasaan susah dan menyesal. Kemudian membaca surat al-Naas, al-Falaq, al-Ikhlas, al-Kafirun, dan doa-doa tidur. Setelah itu, kita berusaha untuk tidur dalam keadaan membaca tasbih, tahmid, takbir, istighfar, dan dzikir.
5.   Ketika kamu mendapatkan kenikmatan atau cobaan, maka jangan lupa hakekat bahwa tidak ada yang memberi manfaat dan tidak ada yang menolak madhorot (bahaya) kecuali Allah. Semua manusia tidak bisa mengatur dirinya apa lagi mengatur orang lain. Lalu gantungkan hatimu pada Allah semata, bersyukur atas nikmat-Nya, sabar atas cobaan-Nya, dan bersimpuh di depan pintu-Nya.
6.    Sesudah kamu melakukan sholat dan selesai dari aurod-aurodmu, maka jangan berdiri dulu sebelum mengangkat tanganmu pada Allah seraya berdo’a dengan segala kerendahan hati dan penuh kehinaan, meminta pada-Nya untuk memberikan hajat-hajatmu, menghindarkan dari segala ketakutanmu, dan mengampuni segala kesalahanmu. Tidak ada kebaikan dalam sholat yang tidak diakhiri dengan do’a kepada Allah.
7.    Ketika kamu merasa ditinggalkan manusia dan dibenci oleh mereka, maka jadikan ridlo Allah sebagai pelipur hatimu. Dan ketahuilah bahwa hal itu lebih baik daripada manusia menyukaimu tetapi engkau dibenci Allah.
8.  Ketika nafsumu menarikmu untuk ghibah (membicarakan kejelekan) pada saudaramu, maka ingatlah bahwasanya kamu mempunyai banyak kecacatan yang apabila Allah membukanya, niscaya kecacatanmu itu menjadi pembicaraan manusia dan menjadi bahan pergunjingan di antara mereka. Jika kamu mengingat hal ini, maka kamu akan menjadi malu kepada Allah untuk melakukan ghibah yang diharamkan ini. Lalu kamu akan fokus pada syukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang berupa ditutupinya kecacatanmu.
9.  Berusahalah sekuat tenaga untuk menjadikan modalmu yang kamu haturkan nanti di hadapan Allah berupa hati yang suci dari kotoran kebencian. Karena taat yang sedikit itu menjadi cukup kalau keluar dari hati yang bersih. Dan banyaknya taat tidak mencukupi kalau keluar dari hati yang kotor dan penuh dengan kebencian.
10.Ketika nafsumu mengajak untuk melakukan keharaman atau keluar dari perjanjian ini, maka ingatlah akan kematian. Karena kematian itu ketika diingat akan mengecilkan besarnya maksiat dan menjadikan  besar dan banyaknya ibadah dan taat.

Doakanlah saudaramu ini untuk bisa menetapi perjanjian ini, dan aku doakan kamu juga bisa menetapinya. Aamiin…

خف من وجود احسانه اليك ودوام اساءتك معه ان يكون ذلك استدراجا لك سنستدرجهم من حيث لايعلمون
Takutlah dengan adanya kebaikan Allah kepadamu sementara kamu durhaka kepada-Nya, karena mungkin saja itu adalah bentuk istidroj kepadamu. “Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang mereka tidak ketahui”.
PENGERTIAN ISTIDROJ
Sebelum kita mengetahui makna istidroj, ada baiknya kita mengetahui dahulu dua sikap yang berkenaan dengan nikmat Allah SWT. Yakni syukur nikmat dan kufur nikmat. Syukur dan kufur adalah dua sikap yang bertentangan. Kebanyakan orang memahami syukur adalah  sebagai ungkapan pujian kepada Allah SWT seperti الحمد لله, الشكر لله ,نشكرالله  atas nikmat yang telah karuniakan oleh Allah SWT kepadanya. Jadi orang yang mengucap الحمد لله, الشكر لله ,نشكرالله  dan sejenisnya ketika mendapatkan nikmat adalah orang yang bersyukur menurut kebanyakan orang. Tapi bagaimana menurut Allah SWT?
Allah SWT berfirman:
 و قليل من عبادي الشكور (سباء 13)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang bersyukur”. (Q.S. Saba’:13)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa syukur yang dikehendaki Allah SWT dan yang di perintahkan kepada kita adalah syukur yang memiliki makna yang lain, tidak hanya sekedar ungkapan pujian semata. Syukur yang di maksud adalah penggunaan segala sesuatu yang telah diberikan Allah SWT sesuai dengan fungsi dan tujuannya menurut agama. Dan kebalikannya adalah kufur, yakni tidak mengakui adanya anugerah dari Allah SWT kepadanya atau tidak menggunakan nikmat sesuai fungsi dan tujuanya menurut agama. Dan dari dua sikap yang berbeda ini pula Allah SWT menjanjikan dua hal yang berbeda. Allah SWT berfirman:
 لئن شكرتم لازيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد (ابراهيم 7)
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepada mu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrohim:7)

Setelah kita mengetahui makna syukur dan kufur, maka kita tahu bahwa orang yang kufur nikmat berarti ia menawarkan dirinya untuk terhalang dari nikmat yang dianugerahkan kepadanya atau bahkan terputus dari nikmat tersebut. Namun bagaimana jika ada orang yang terus  berada dalam kenikmatan padahal ia adalah orang yang kufur nikmat? Ketahuilah bahwasannya orang tersebut adalah orang yang mendapatkan istidroj, seperti yang dimaksud dalam ayat di bawah ini:

 فذرني ومن يكذب بهذا الحديث سنستدرجهم من حيث لا يعلمون وأملي لهم إنَ كيدي متين (القلم 44-45)
Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan  ini (Al-Quran). Kelak akan kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang mareka tidak ketahui. Dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh rencana-Ku sangat teguh”. (Q.S. Al-Qolam:44-45)

Jadi secara ringkas istidroj  adalah pemberian nikmat kapada orang yang mengkufurinya dalam rangka agar orang tersebut semakin lupa dan terus dalam kekufurannya atas nikmat yang diterimanya tersebut  sebagai bentuk murka Allah SWT kepadanya.

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN KETIKA MENDAPAT NIKMAT?
Ketika seorang muslim mendapat nikmat dari Allah SWT, maka hendaknya orang tersebut bisa lebih waspada dalam dirinya, mau meraba apakah nikmat yang begitu besar berupa iman sudahkah disyukuri atau belum, sehingga muhasabah dan mawas diri seperti ini akan menjadikan kita takut akan nikmat yang kita terima ,apakah ini nikmat dari Allah SWT atau istidroj.
Adapun  dampak positif yang timbul dari mawas diri dan takut atas nikmat Allah SWT adalah timbulnya perasaaan yang mendorong diri kita untuk selalu memperbaiki diri dan bersyukur. Namun jika ada orang berkata “ketika aku mengintropeksi diri aku merasa sudah melaksanakan hak-hak Allah SWT dan mensyukuri nikmat-Nya, sehingga aku bingung bagaimana aku bisa merasa takut kepada Allah SWT sedangkan aku sudah menjalankan hak-hak Nya”. Maka orang semacam ini orang yang merasa telah  menjalankan hak-hak Allah SWT, tidak melakukan kesalahan dan bersyukur atas nikmat Allah SWT merupakan orang yang mempunyai prasangka yang salah.
Dari keterangan diatas bisa kita pahami, bahwa orang yang mengetahui keagungan Robbnya maka ia akan merasa bahwa begitu banyak hak-hak Allah SWT yang belum ia kerjakan dan begitu banyak kesalahan-kesalahan yang ia perbuat. Tetapi hal ini berbeda dengan seorang hamba yang merasa bahwa dirinya telah menjalankan hak-hak Allah SWT dan merasa nikmat Allah SWT yang diberikan kapadanya merupakan hasil jerih payahnya, maka orang yang demikian ini adalah orang yang jauh dari Allah SWT dan terjatuh pada lubang kesalahan.
Bisa kita simpulkan seorang mukmin disamping husnudzon hendaknya selalu waspada akan nikmat-nikmat Allah SWT yang telah diberikan, apakah ini istidroj atau  bukan. Banyak dari kita yang telah mencapai derajat yang tinggi disisi Allah SWT sebagaiman derajat yang di capai oleh sayyidina Umar r.a, diceritakan ketika sayyidina Umar mendapat ghonimah dari ekspansi islam, beliau merasa sedih dan susah karena takut akan nikmat-nikmat yang ia terima merupakan istidroj dari Allah SWT. Bahkan diceritakan oleh Ibnu Umar dalam kitab Bidayah Wannihayah dan di dalm kitab Thobaqot oleh Ibnu Sa’ad, diceritakan ketika Umar r.a diberi harta ghonimah hasil dari ekspansi islam di Qodisiyah Persi, sayyidina Umar r.a seraya menangis berkata,”jangan sekali–kali, demi Dzat yang jiwaku berada pada kekuasaaNya, Allah SWT menahan (tidak memberi kemenangan) kepada Nabi dan Abu Bakar r.a karena menghendaki kejelekan kepada mereka, bukan pula Allah SWT memberi kemenangan kepada Umar karena menghendaki kebaikan kepadanya”.
Jadi tak aneh jika seorang muslim yang telah mencapai derajat robbaniyyun sebagaimana sayyidina Umar r.a akan selalu hidup dengan disertai kewaspadaan atas nikmat-nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya, apakah ini merupakan nikmat  atau merupakan istidroj ? Karena orang yang seperti ini merasa bahwa  dirinya masih berprilaku buruk. Sehingga ia selalu merasa bahwa nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya merupakan istidroj.

BAROMETER ISTIROJ
Dalam kapasitas orang awam seperti kita, barometer untuk membedakan nikmat yang datang dari Allah SWT sebagai kemuliaan atau sebagai sebuah istidroj adalah dengan melihat aqidah dan suluk penerima nikmat. Ketika seseorang yang mendapatkan nikmat, dia beranggapan bahwa nikmat yang diterima adalah murni pemberian dari Allah SWT bukan disebabkan amal-amalnya kemudian dia tidak memperdulikan banyak sedikitnya nikmat serta tidak menganggapnya penting dan dalam setiap langkahnya dia selalu mematuhi perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta menggunakan nikmat yang telah diterimanya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjauhkannya dari hal-hal yang di benci Allah SWT, maka bisa di simpulkan bahwa nikmat yang di terimanya tersebut adalah sebuah kebaikan dan kemuliaan yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya. Namun sebaliknya, jika ada seseorang yang mendapatkan nikmat dia menganggap nikmat yang diterimanya adalah sebab atau hasil dari kerja atau usahanya sendiri sampai-sampai dia lupa Allah SWT sebagai musabbibul asbab,  kemudian bersamaan dengan itu dia selalu menuruti hawa nafsu dan kasenangannya dan melupakan Allah SWT sang pemberi nikmat serta melupakan perintah dan wasiat Allah SWT, juga melanggar batas-batas perkara yang di haramkan-Nya, maka jelaslah bahwa nikmat yang diterimanya adalah sebuah istidroj dari Allah SWT yang akan menterpurukannya dan akan menambahkan siksa baginya.

CONTOH-CONTOH ISTIDROJ
Perlu kita ketahui bahwasannya  istidroj yang diberikan pada sebuah kelompok atau negara yang mana kelompok atau negara tersebut telah lalim/angkuh dan bertindak semena-mena bukanlah suatu hal yang dianggap aman atau nikmat yang akan bertambah terus-menerus. Bahkan hal yang seperti itu menjadi tanda-tanda kehancuran kelompok atau negara tersebut. Akan tetapi tanda kehancuran suatu negara itu berbeda dengan tanda kehancuran yang dialami perorangan , yang mana kehancuran suatu negara akan terjadi ketika negara tersebut menuai masa kejayaan sebagaimana yang dialami oleh perorangan pada umumnya. Jika mengetahui tanda kehancuran pada suatu negara, maka jangan dikira negara tersebut akan hancur begitu saja dalam jangka waktu 2 atau 3 tahun yang mendatang sebagaimana hancurnya manusia yang penyakitnya telah menyebar ke seluruh tubuhnya, karena kehancuran suatu organisasi atau negara dihitung dengan jangka waktu yang lama sedangkan seorang manusia kehancurannya bisa dihitung dengan hitungan hari atau tahun. Yang terpenting kita harus memperhatikan bahwasannya sudah menjadi sunatullah bahwa kehancuran suatu negara yang lalim itu terjadi ketika negara yang angkuh akan kesombongannya tersebut mencapai puncak kejayaan maka disitulah Allah SWT akan manghancurkan atau menjatuhkan negara tersebut dari kejayaannya.
Ketahuilah bahwasannya Qorun ketika dia membangga-banggakan atau sombong dengan hartanya dan kekuasaannya maka disitulah Allah SWT memberikan tambahan istidroj atas apa yang telah di lakukunnya dan juga Allah SWT memberinya waktu yang cukup untuk dia mencapai puncak kedurhakannya tersebut, sehingga orang-orang yang bodoh berperasangka atau mengira bahwa Qorun telah di anugerahi kebahagiaan dan kekuasaan yang bisa di nikmati sebagaimana layaknya seorang raja, sehingga mereka berangan-angan ingin mendapatkan seperti apa yang di dapat oleh Qorun. Sebagaiman firman Allah SWT:

 يا ليت لنا مثل ما اوتي قارون إنه لذو حظ عظيم (القصص 79)
“mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah di berikan kepada Qorun, sesungguhnya dia mempunyai keberuntungan yang besar”. (Q.S. Al Qoshosh:79)

Namun ketika Qorun telah mencapai puncak kelaliman, kekayaan serta kekuasaan maka Allah SWT dengan sekejap saja menghancurkan dan membinasakan kekuasaan dan kekayaannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

 فخسفنا به وبداره الارض (القصص 81)
“Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya kedalam bumi”. (Q.S. Al Qoshosh:81)

Jika kita menengok cerita Fir’aun yaitu seorang yang keras kepala, congkak, lalim yang tak mau menerima saran dan nasehat dari orang lain bahkan ia menganggap remeh ancaman dari Allah SWT yang di tujukan kepadanya sehingga Allah SWT membiarkan semua perbuatannya dan memberinya harta dunia yang melimpah hingga ia menjadi lebih congkak dan sombong bahkan merasa bahwa dunia berada di genggamannya serta ia beranggapan bahwa tidak ada qodlo’ atau putusan kecuali darinya hingga akhirnya Allah SWT menenggelamkannya dalam laut dan membinasakannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

 ودمرنا ماكان يصنع فرعون وقومه وما كانوا يعرشون (الاعراف 137)
“Maka Kami hancurkan apa yang telah di perbuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun”. (Q.S. Al A’rof:137)    

PENJAJAHAN ORANG BARAT TERHADAP ORANG ISLAM
Kebanyakan orang-orang zaman sekarang menanyakan tentang menguasainya orang-orang kafir terhadap orang-orang islam. Mungkin diantara mereka akan  bertanya; apabila ini merupakan sunatullah yang berupa istidroj kepada mereka, maka kapankah kehancuran mereka? Apakah kekuasaan mereka itu bisa menguasai orang-orang islam dan merebut hak-hak mereka?
Jawabannya adalah muslim yang sekarang bukanlah muslim yang dijanjikan oleh Allah SWT dengan dianugerahi pertolonganan, yakni orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

 إنا لننصر رسلنا والذين امنوا في الحياة الدنيا ويوم يقوم الاشهاد (غافر 51)
“Sesungguhnya Kami akan  menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari kiamat)”. (Q.S. Ghofir:51)

Dan juga bukan muslim yang dikhitobi oleh Allah SWT dalam ayat:

 لنهلكن الظالمين ولنسكننكم الارض من بعدهم (ابراهيم 13-14)  
Kami pasti akan membinasakan orang yang dholim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu setelah mereka”. (Q.S. Ibrohim:13-14)

Dan juga bukan orang-orang yang dijanjikan oleh Allah SWT  dalam ayat:

 وعدالله الذين أمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الارض كما استخف الذين من قبلهم (النور 55)
“Allah telah menjajikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. (Q.S. Annur:55)

Tapi muslim yang sekarang ini adalah muslim yang bermodel-model yang mengherankan. Sesungguhnya mereka mengklaim dirinya sebagai orang islam dengan menggunakan ucapan-ucapan dan lambang-lambang islam belaka. Sebenarnya mereka bosan dengan aturan-aturan islam, mereka menganggapnya kuno yang tidak ngetrend pada zaman sekarang. Mereka suka merubah semua hukum-hukum islam, karena mereka menganggap sekarang sudah zaman modern, dan kemungkaran tersebut sudah masyhur dikalangan masyarakat, sehingga kemungkaran tersebut seakan-akan menjadi hal baik yang mereka sukai. Maka bagaimana mungkin mereka mendapat pertolongan dari Allah SWT sedangkan mereka  tidak berpegangan dengan hukum-hukum islam.

Ketahuilah bahwasannya sunatullah di dunia ini akan berjalan sesuai dengan keadaannya penghuninya. Hanya saja keberadaan orang-orang mukmin yang patuh pada aturan-aturan Allah SWT dan orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT dan aturan-aturan-Nya ibarat timbangan yang berat salah satunya. Apabila orang-orang mukmin itu memang benar-benar iman kepada Allah SWT, memenuhi hak serta kewajibannya kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan menjadikan pimpinan kehidupan dipegang oleh mereka, memberikan kemulyaan, kenikmatan dan pertolongan kepada mereka yang tidak terhingga dan mengangkat derajat mereka.

Namun jika orang-orang mukmin menyia-nyiakan syariat Allah SWT, menganggap remeh aturan-aturan Allah SWT, lisannya tidak sesuai dengan hatinya, serta mereka sudah tidak punya himmah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar atau bahkan mereka merasa muak dengan hal-hal yang ma’ruf, maka Allah SWT akan menjadikan kelangsungam hidup dan kekuasaan yang semestinya mereka miliki barada pada genggaman umat lain, meskipun umat tersebut merupakan orang yang durhaka dan kafir.
Aturan dalam dunai ini akan terus berjalan, dan adanya orang-orang mukmin yang durhaka serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya tidak menjadikan aturan-aturan tersebut lenyap begitu saja. Akan tetapi Allah SWT akan menyerahkan kendali dunia yang seharusnya dimiliki orang mukmin kepada umat lain sebagai akibat atas perbuatan-perbuatan orang-orang mukmin yang telah menyia-nyiakan amanah dan mengingkarinya. Dijelaskan dalam Al-Quran:
 و كذلك نولي بعض الظالمين بعضا بما كانوا يكسبون (الانعام 129)
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang dholim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al An’am:129)

Di ayat lain juga menerangkan aturan-aturan Allah SWT yang ditujukan kepada Bani Israil, sebagaimana firman Allah SWT:

 فاذا جاء وعد اولا هما بعثنا عليكم عبادا لنا اولي بأس شديد فجاسوا خلال الديار وكان وعدا مفعولا (الاسراء 5)
“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang perkasa, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana”. (Q.S. Al Isro’:5)

Sebagaimana yang telah kita ketahui dari ayat diatas, bahwa Bani Israil merupakan contoh segolongan kaum yang mengingkari janji dan mengkufuri nikmat-nikmat Allah SWT yang diberikan kepada mereka, sehingga Allah SWT membiarkan mereka dalam kesengsaraan dibawah penindasan Bukhtanashoro dan kaumnya.
Di dalam sabda Nabi SAW juga disebutkan:
 إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لاينزع حتى ترجعوا إلى  دينكم
“Jika kalian jual beli dengan barang riba, memegang ekor sapi (beternak hingga lupa ibadah), ridlo dengan tanamannya (bekerja hingga lupa ibadah) dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membiarkan kalian semua dalam kesengsaraan hingga kalian semua kembali kepada agama kalian semua”.

Dahulu ketika Sa’ad bin Abi Waqosh berangkat bersama dengan pasukannya untuk menaklukan Qodisiyah, sayidina Umar r.a sempat menghimbau tentaranya agar menjauhi perbuatan-perbuatan dosa. Karena dengan adanya kemaksiatan akan menyebabkan terkalahkan oleh orang-orang dholim. Sayidina Umar r.a berwasiat kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad, sesungguhnya Allah SWT tidak menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi Allah SWT menghapus kejelekan dengan kebaikan. Jagalah pemimpinmu dan orang-orang yang  bersamamu dari berbuat dosa, karena dosa-dosa tentara lebih berbahaya dari pada musuh mereka. Umat muslim diberi kemenangan karena adanya kemaksiatan musuh kepada Allah SWT. Sehingga jika tidak demikian maka kita tidak punya kekuatan, karena jumlah kita tidak sama sengan jumlah mereka. Karenanya, jika kita juga berbuat maksiat kepada Allah SWT seperti halnya mereka, maka mereka akan unggul dan mengalahkan kita. Janganlah kalian berkata “sesungguhnya musuh kita lebih jelek, mereka tidak bisa mengalahkan kita. Cukup banyak kaum yang di kalahkan oleh kaum yang lebih jelek dari mereka karena, seperti Bukhtanashoro yang mengalahkan Bani Israil dan merajalela di kampung”.

Pendiri Daulah Usmaniyah membuktikan kebenaran sunatullah ini dan dia melihat bagaimana sunatullah ini berlaku pada zaman sesuai dengan umat yang ada didalamnya. Hingga ketika ia merasa ajalnya sudah dekat ia mendatangi putra sulungmya, menceritakan bukti sunatullah ini dan memberikan nasihat yang berharga “Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini seperti seekor semut yang lemah. Lalu Allah SWT memberikan nikmat yang agung ini kepadaku. Maka ikutilah jejakku, amalkan ajaran agama ini dengan teguh dan mulyakanlah pemeluknya. Ini adalah tugas para raja di bumi ini”.
Namun kita harus tahu bahwa kenyataan sekarang ini yang telah berlangsung sejak lama bukanlah dinamakan kemenangan orang-orang kafir atas orang-orang islam. Hal ini tidak adalah taslith atau tauliyah.
Saya mengatakan demikian bukanlah untuk menghibur orang islam dengan kenyataan yang menimpa mereka, tetapi mengungkap kenyataan yang ada pada orang mereka. Sama benarnya, apakah kita memahami bahwa dunia barat unggul dan menang atau taslith dan istidroj bahwa mereka menguasai orang islam dengan paksa dan hina dan orang islam menjadi terendahkan di bawah kekuasan mereka. Fakta ini bukanlah terjadi tanpa sebab. Ini terjadi akibat perbuatan orang islam itu sendiri. Mereka telah mengganti nikmat Allah SWT yang diberikan kepada mereka dengan kekufuran, lebih-lebih nikmat islam yang Allah SWT ridloi dan menjadikan mereka berkedudukan tinggi yang tidak dimiliki oleh seorangpun dari selain orang islam.
Walaupun demikian mayoritas dari kita tidaklah termasuk golongan yang berada pada tingkatan istidroj dengan adanya kenikmatan dan berlimpahnya kenikmatan. Tetapi kita masih berada pada tingkatan kesadaran pada Allah SWT. Dengan bukti anugerah besar yang kita nikmati terkadang hilang dan terhalang dari kita.
Semoga Allah SWT menjadikan nikmat yang diberikan kepada kita sebagai nikmat yang menjadikan kita semakin dekat kepada-Nya dan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiiin……
Keluarga harmonis Kalau kita mengamati pada keseluruhan hukum islam, maka kita akan menemukan bahwa hukum islam itu terbagi menjadi tiga, yaitu: Pertama : tazkiyatunnafsi al-insaniyyah atau memperbaiki diri dari sifat-sifat tercela. Kedua : tandzimul usroh atau mengatur keluarga menuju keluarga yang bahagia. Ketiga : tandzimul usroh al- insaniyyah atau mengatur hubungan satu manusia dengan lainnya. Hukum-hukum islam ini adalah suatu anugerah dan nikmat yang tiada terkira dari Tuhan kita Allah S.W.T. Hukum Allah segi dhohirnya adalah kewajiban yang berat untuk kita lakukan tapi sebetulnya merupakan anugerah dan kemulyaan bagi kita, karena kita tidak bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki kecuali melalui menerapkan hukum dan aturan allah swt. Ini yang di maksud dalam firman allah اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا Ketiga tingkatan tersebut adalah tingkatan yang berurutan, dengan kata lain suatu keluarga tidak mungkin bisa bahagia kalau anggota keluarga tidak menghilangkan sifat-sifat tercelanya (tazkiyatun nafsi), dan kita tidak akan bisa mewujudkan masyarakat yang bersih dan baik tanpa mendaki lebih dahulu pada dua tangga sebelumnya yaitu tazkiyatunnafsi dan tandzimul usroh. Disini kita dapat mengatakan bahwa seberapa keluarga taat pada perintah agama dengan menerapkan aturan-aturan Allah S.W.T, maka semakin kokoh dan bahagia keluarga tersebut. Sebaliknya seberapa keluarga jauh dari agama dan menyimpang dari aturan Allah S.W.T maka sebera besar itu juga dia dihinggapi keretakan dan dijauhkan. Mari kita lihat realita kehidupan keluarga di negara-negara yang jauh dari petunjuk Allah S.W.T di negara-negara maju barat, di sana sudah tidak lagi mengenal arti keluarga karena keluarga di sana telah cerai berai tanpa ada ikatan, anak tidak kenal ayah-ibunya, saudara tidak kenal saudaranya. Kemajuan tidak bisa mengganti kedudukan agama, kemoderenan tidak akan mampu membahagiakan manusia ketika mereka menjauh dari rahmah agama Allah S.W.T. Untuk kesemuanya ini Allah memerintahkan manusia untuk menegakkan aturan- aturannya. Allah menjadikan dalam keluarga suatu pemimpin yaitu seorang ayah, kemudian Allah memerintahkan anak-anak untuk berbuat baik pada kedua orang tua وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما إن يبلغن عندك الكبر أحدهما أو كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا معروفا Nabi muhammad s.a.w ketika ditanya siapa dari manusia yang patut untuk aku temani? Nabi saw menjawab ibumu . Sail : lalu siapa? Nabi saw : ibumu. Sail : lalu siapa? Nabi saw: ibumu. Sail : lalu siapa? Nabi : bapakmu. ayah dan ibu dalam berumah-tangga adalah penyangga rumah tangga pemimpin dan nahkoda seisi rumah. وقضى ربك ان لا تعبدوا الا إياه وبالوالدين احسانا إما يبلغن عندك الكبر أحدهما او كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما. روى احمد والترمذي وابن ماجه عن أبي الدرداء رضي الله عنه ان رجلا أتاه فقال : ان لي امرأة وان امي تأمرني بطلاقها قل ابو الدرداء سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الوالد اوسط ابواب الجنة فان شئت فأضع ذلك الباب او احفظه. Diriwayatkan bawa ibnu umar punya istri yang dicintai tapi umar ayahnya tidak menyukainya lalu memerintahkannya supaya mentalak istrinya tapi sang anak tidak mau, lalu sang ayah matur pada rosulullah saw lalu nabi memerintahkan untuk menalaknya. Hadis ini bukan berarti orang tua boleh semena-mena memerintahkan anaknya dengan serampangan karena allah juga merintahkan orang tua bertaqwa pada Allah, kalau orang tua sudah bertaqwa pada Allah, maka dia akan memerintah dengan kebaikan. Ayat dan hadits-hadits itu menunjukkan pentingnya birrul walidain dan kita mesti berbangga dengan syariat islam yang telah membuka jalan menuju kehidupan harmonis dan bahagia dalam keluarga, islam adalah sumber kebahagiaan kita dalam kehidupan di dunia dan akherat, tidak mungkin kita bahagia kalau tidak menerapkan ajarannya. Bagaimana kita meninggalkan Tuhan kita yang menunjukkan jalan kebahagiaan, lalu kita mencari jalan kebahagian di kotoran tong-tong sampah. Sebagian kita ketika mendengar bahwa orang-orang kafir barat memperingati hari ibu lalu dia mengikutinya, mestinya dia bangga dengan syariat islam tapi dia justru bangga dengan budaya barat tersebut. Orang-orang barat mengadakan hari ibu karena kerusakan yang menimpa mereka sudah sangat parah sehingga mereka mengadakan peringatan hari ibu untuk mengembalikan anak-anak dalam mengingat lagi ibunya walau dalam satu hari saja. Agama kita memberitahukan dan memerintahkan supaya kita selalu dalam naungan aturannya. Maka angkat kepala kalian sebagai tanda kebanggaan Tanda kebanggaan akan syareat allah! Jangan mencari kebanggaan pada selain agama Allah! Jangan sampai menjauh dari aturan Allah, sebab kalau kalian membuang anugerah Allah ini maka kalian akan celaka selama lamanya. Wallahu a'lam.
PENDAHULUAN Syaikh Al-Faqih As-Shalih Az-Zahid Abdul Malik bin Abdullah –semoga Allah mengampuninya- berkata, guruku yang mulia Al-Imam Az-Zahid As-Sa’id Al-Muwaffiq Hujjatul Islam Zainuddin, sebaik-baik umat, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali At-Thusiy –semoga Allah membersihkan ruhnya dan mengangkat derajatnya di surga- telah mendikte/membacakan kitab ringkasan ini padaku. Kitab ini merupakan kitab terakhir yang dikarangnya. Tidak ada yang minta untuk dibacakan kitab tersebut dari beliau kecuali para sahabatnya yang khusus. Segala Puji bagi Allah Yang Maha Merajai, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang menciptakan manusia dalam bentuk yang paling bagus, yang menciptakan langit dan bumi dengan kuasa-Nya, yang mengatur semua perkara di dunia dan akhirat dengan kebijaksanaan-Nya. Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya. Maka jalan (untuk ta’at dan berkhidmah) pada-Nya tterlihat jelas bagi orang-orang yang menginginkannya. Dalil tentang ke-Esa-an Allah begitu tampak bagi orang-orang yang melihat dengan hati mereka. Tetapi Allah mampu menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan (mampu) memberikan petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang (pantas) mendapatkan petunjuk. Sholawat semoga senantiasa terhaturkan kepada Nabi Muhammad, pemimpin para rasul, serta kepada keluarganya, yang merupakan orang-orang baik, bagus nan bersih. Dan semoga Allah memberikan salam dan mengagungkan mereka sampai hari kiamat. Ketahuilah wahai saudara-saudaraku –semoga Allah membahagiakan kalian dan aku dengan ridho-Nya– sesungguhnya ibadah adalah buahnya ilmu, faidah/kegunaannya umur, penghasil hamba-hamba yang kuat, hartanya para wali, jalannya orang-orang yang taqwa, bagiannya orang-orang langka/asing, tujuan bagi orang-orang yang memiliki semangat, tanda-tanda bagi orang-orang yang mulia, profesinya para tokoh, dan pilihannya orang-orang yang mempunyai mata hati. Ibadah juga merupakan jalan kebahagiaan menuju surga. Allah berfirman : وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ (الأنبياء : 92) “Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (QS. Al-Anbiya’ : 92) Dan Allah berfirman : إِنَّ هذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَّكَانَ سَعْيُكُمْ مَّشْكُوْرًا (الإنسان : 22) “Sesungguhnya ini (kenikmatan surga) adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan)”. (QS. Al-Insan : 22) Kemudian sesungguhnya kami merenungkan tentang ibadah dan memikirkan jalannya dari awal hingga tujuan akhir yang mana merupakan cita-cita bagi orang yang menitinya. Maka (kami mendapati bahwa) ibadah merupakan jalan yang sulit nan rumit, memiliki tahapan yang banyak, sangat berat, jauh perjalanannya, besar cobaannya, banyak rintangan dan halangan, terkepung dengan peperangan dan pertikaian, banyak musuh dan pembegal, sedikit kawan dan pengikut. Keadaan ini adalah keniscayaan yang harus ada, karena ibadah merupakan jalan (menuju) surga. Maka hal ini membenarkan apa yang telah diucapkan oleh Rasulullah SAW : أَلاَ وَإِنَّ الْجَنَّةَ حُفَّتْ بِاْلمَكَارِهِ وَإِنَّ النَّارَ حُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ “Ingatlah, sesungguhnya surga itu dikepung dengan hal-hal yang dibenci. Sedangkan neraka dikepung dengan berbagai kesenangan hawa nafsu”. Dan Rasulullah (juga) bersabda : أَلاَ وَإِنَّ الْجَنَّةَ حَزْنٌ بِرَبْوَةٍ أَلاَ وَإِنَّ النَّارَ سَهْلٌ بِسَهْوَةٍ “Ingatlah, sesungguhnya (jalan menuju) surga itu berat (bagaikan tanah yang terjal) di sebuah bukit. Dan sesungguhnya neraka itu mudah (bagaikan tanah rata) di dataran rendah”. Di sisi lain, seorang hamba adalah makhluk yang lemah, zaman (semakin) sulit, urusan agama semakin berkurang, kesempatan/waktu luang sedikit, kesibukan banyak, umur pendek, dalam perbuatan terdapat kecerobohan, malaikat pengintai selalu melihat, kematian begitu dekat, perjalanan (menuju akhirat) jauh. Ketaatan adalah bekal yang harus ada, jika terlewatkan tidak bisa kembali lagi. Maka barang siapa yang memperoleh ketaatan, sungguh ia beruntung dan bahagia selama-lamanya. Dan barang siapa yang kehilangan/terlewatkan ketaatan, maka ia merugi bersama golongan orang-orang yang rugi, ia rusak bersama orang-orang yang rusak. Sehingga demi Allah, perkara ini merupakan perkara yang sulit dan kekhawatiran yang besar. Oleh karena itu, jarang dan sedikit orang yang menghendaki jalan (ibadah) ini. Diantara sekian orang yang menghendakinya, sedikit orang yang menitinya/menempuhnya. Dan diantara sekian orang yang menitinya, jarang orang yang sampai pada tujuan dan memperoleh apa yang ia cari. Mereka (yang sampai pada tujuan) ialah orang-orang mulia yang dipilih oleh Allah untuk mengenal dan mencintai-Nya, yang diberi petunjuk pada kebenaran dengan taufiq/pertolongan dan penjagaan Allah, kemudian Allah mengantarkan mereka pada ridlo dan surga-Nya. Maka kita memohon kepada Allah -yang agung dzikir-Nya- agar Allah menjadikan kita dalam golongan mereka, orang-orang yang berhasil dengan rahmat-Nya. Memang benar, dan ketika kami dapati jalan (ibadah) ini dengan sifatnya, kami berpikir dan terus berpikir dengan sungguh-sungguh mengenai tata cara menaklukkan jalan tersebut dan perkara yang dibutuhkan oleh seorang hamba; meliputi biaya, persiapan, alat, dan siasat dari ilmu dan perbuatan. Barangkali ia bisa menaklukkannya dalam keadaan selamat dengan bagusnya pertolongan Allah, dan tidak berhenti pada tahapan-tahapan yang merusak sehingga ia rusak bersama orang-orang yang rusak, semoga Allah melindungi. Maka kami mengarang kitab-kitab yang menjelaskan tentang cara untuk menaklukkan dan menempuh jalan ini, seperti kitab Ihya’ Ulumiddin, Al-Qurbah Ilallah, dan lain sebagainya yang memuat ilmu-ilmu yang rumit dan sulit untuk dipaham oleh orang-orang umum sehingga mereka mencela dan mereka malah tenggelam dalam obrolan yang tidak mereka ketahui. Tidak ada kalam/pembicaraan yang paling fasih/bagus dari kalam Allah Tuhan semesta alam. Sedangkan mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu (hanya) cerita-cerita orang-orang terdahulu”. Tidakkah kau mendengar perkataan Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib –semoga Allah meridloi mereka- : “Sesungguhnya aku menyembunyikan mutiara-mutiara dari ilmuku, agar orang-orang bodoh tidak melihatnya karena bisa menimbulkan fitnah Hal itu dahulu pernah dilakukan ayah Hasan dan Husain, Ali berwasiat kepada Hasan dan Husain Begitu banyak mutiara ilmu, seandainya aku memperlihatkannya, pasti akan dikatakan bahwa aku penyembah berhala Bahkan pembesar kaum muslimin menghalalkan darahku, mereka menganggap, sejelek-jelek perbuatan mereka (membunuhku) adalah sebuah tindakan yang baik” Keadaan ini menuntut orang-orang beragama yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia untuk melihat pada seluruh makhluk-Nya dengan penglihatan kasih sayang dan meninggalkan perdebatan. Lalu aku berdo’a sepenuh hati pada Dzat yang segala makhluk dan urusan ada di genggaman-Nya agar menolongku dalam mengarang kitab yang telah disepakati dan bisa memberikan manfaat. Maka doaku dikabulkan oleh Dzat yang mengabulkan do’a orang yang terdesak apabila berdo’a. Dan dengan karunia-Nya, Allah menunjukkan kepadaku rahasia-rahasia karangan itu, serta Allah memberikanku ilham berupa susunan yang mengagumkan dalam kitab tersebut yang belum pernah aku sebutkan dalam karangan-karangan yang terdahulu tentang rahasia-rahasia pengamalan agama. Kitab tersebut adalah kitab yang aku sifati sendiri, lalu aku berkata : Sesungguhnya hal yang pertama kali mengingatkan seorang hamba untuk beribadah dan menyepi guna menempuh jalan ibadah adalah getaran dari langit yang berasal dari Allah dan pertolongan khusus dari-Nya. Kondisi inilah yang dimaksud dengan firman Allah : أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَه لِلْإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهِ (الزمر : 22) “Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapatkan cahaya dari Tuhannya, (sama dengan orang yang membatu hatinya)?”. Dan ayat tersebut telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW, lalu beliau bersabda : إِنَّ النُّوْرَ إِذَا دَخَلَ الْقَلْبَ انْفَسَحَ وَانْشَرَحَ “Sesungguhnya apabila cahaya telah masuk ke dalam hati, maka hati menjadi luas dan lapang”. Kemudian dikatakan, “Wahai Rasulullah, apakah hal tersebut memiliki tanda-tanda yang bisa diketahui?”. Nabi menjawab : التَّجَافِى عَنْ دَارِ الْغُرُوْرِ، وَاْلإِنَابَةُ إِلَى دَارِ الْخُلُوْدِ، وَالْإِسْتِعْدَادُ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُوْلِ الْمَوْتِ “Menjauh dari negeri tipuan (dunia), kembali pada negeri keabadian (akhirat), dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian sebelum ajal menjemput”. Dan apabila terbesit dalam hati seorang hamba sebelum dia beribadah, “Sesungguhnya aku menemukan diriku ini makhluk yang diberikan kenikmatan dengan bermacam-macam kenikmatan, seperti hidup, kemampuan, akal, berbicara, kenikmatan-kenikmatan lain, dan kelezatan-kelezatan, serta hal-hal yang bisa menjauhkanku dari berbagai bahaya dan bencana. Dan sesungguhnya di balik semua kenikmatan ini ada Dzat yang memberikan kenikmatan, yang menuntutku untuk mensyukuri dan menaati-Nya. Lalu apabila aku lupa untuk bersyukur dan taat, maka Dia menghilangkan kenikmatan itu dariku dan memberikanku adzab dan siksa-Nya. Dia telah mengutus Rasul untukku, yang diberi kekuatan berupa mu’jizat yang di luar kebiasaan dan keluar dari kemampuan manusia. Dan Rasul itu memberitahuku bahwa aku mempunyai Tuhan yang agung dzikirnya, yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Berfirman, yang memerintah dan melarang, yang mampu menyiksa jika aku mendurhakai-Nya dan memberikanku pahala jika aku menaatinya, yang mengetahui rahasia-rahasiaku dan apa yang bergejolak dalam fikiranku, yang telah berjanji dan mengancam, yang memerintahkan dengan pelaksanaan undang-undang syari’at”, maka dalam hatinya berkata bahwa hal itu mungkin terjadi, karena secara langsung dalam (pemikiran) akal tidak ada kemustahilan akan terjadinya hal tersebut. Kemudian ia merasa takut atas dirinya. Maka inilah getaran menakutkan yang mengingatkan hamba, yang menetapkan hujjah/dalil baginya, yang menolak segala alasan, dan menggerakkannya untuk berpikir dan mencari dalil. Lalu dia bergerak, gelisah, dan memikirkan jalan (menuju) keselamatan dan keamanan dari apa yang ada terjadi di hatinya atau yang ia di dengar dengan telinganya, maka ia tidak menemukan jalan keluar selain merenungkan dengan hatinya tentang dalil/bukti dan menjadikan makhluk Allah sebagai bukti adanya Sang Pencipta, agar ia memperoleh ilmul yaqin (ilmu keyakinan) dengan hal yang ghaib, dan (agar) ia tahu bahwa sesungguhnya ia punya Tuhan yang menaklifnya/membebaninya, memerintahnya, dan melarangnya. Semua ini adalah tahapan pertama yang dihadapinya dalam menempuh jalan ibadah, yaitu tahapan ilmu dan ma’rifat (‘aqobatul ‘ilmi wal ma’rifat) agar ia mengetahui perkara (tahapan) tersebut sehingga ia dapat menaklukkannya dengan pemikiran yang bagus dan perenungan yang sempurna tentang dalil/bukti, serta dengan cara bertanya pada ulama akhirat, (yang menjadi) petunjuk jalan menuju Allah, lentera umat, pemimpin imam-imam, dan (dengan cara) mengambil manfaat dari mereka, serta meminta petunjuk do’a yang baik dari mereka agar mendapatkan pertolongan dan bantuan untuk menaklukkan tahapan itu dengan (perantara) taufiq Allah. Maka ia memperoleh ilmul yaqin terhadap hal ghaib, yaitu bahwa ia memiliki Tuhan yang Esa yang tiada sekutu baginya. Dia-lah Tuhan yang menciptakannya dan memberikan nikmat kepadanya dengan seluruh nikmat ini. Dan sesungguhnya Allah memaksanya untuk bersyukur, memerintahkan ia agar taat kepada-Nya secara dhohir dan bathin. Allah memperingatkannya (agar waspada) terhadap kekufuran dan berbagai kemaksiatan. Allah memberikan pahala yang abadi (surga) baginya jika ia menaati-Nya dan memberikan siksaan yang abadi (neraka) jika ia mendurhakai-Nya dan berpaling dari-Nya. Tatkala ia telah memperoleh ilmul yaqin, ma’rifat dan keyakinan terhadap perkara ghaib tersebut mendorongnya untuk bersiap-siap melakukan ketaatan dan fokus beribadah kepada Dzat yang memberikan kenikmatan, yang ia cari lalu ia temukan, yang ia kenal setelah ia tak mengenalnya. Namun ia tidak tahu bagaimana ia harus beribadah dan apa yang harus ia lakukan untuk taat kepada-Nya secara dhohir dan bathin. Dan setelah ketakutan terhadap ma’rifat (mengenal Allah) ini, ia berusaha dan bersungguh-sungguh. Sehingga ia mempelajari apa yang menjadi keharusan baginya, meliputi kefardluan-kefardluan syari’at secara dhohir dan bathin. Setelah ia menyempurnakan (tahapan) ilmu dan ma’rifat dengan kewajiban-kewajiban syari’at, ia tergugah untuk beribadah dan menyibukkan diri dengan ibadah. Kemudian ia berfikir, maka ia dapati dirinya berlumuran dosa. Keadaan ini dialami oleh banyak manusia. Lalu ia berkata, “Bagaimana aku fokus beribadah, sedangkan aku adalah orang yang sering maksiat dan berlumuran kemaksiatan. Maka wajib bagiku untuk bertaubat dulu pada-Nya agar Dia mengampuni dosa-dosaku, menyelamatkanku dari belenggu kemaksiatan, dan mensucikanku dari kotoran-kotoran kemaksiatan. Sehingga aku pantas untuk taat/ibadah dan mendekat kepada Allah”. Lalu ia dihadapkan dengan tahapan taubat (‘aqobatut taubah). Maka sudah menjadi keharusan baginya untuk melewati tahapan ini supaya ia sampai pada tujuan dari taubat. Setelah itu, ia harus mengambil keputusan untuk bertaubat beserta melaksanakan hak-hak dan syarat dari taubat itu sendiri hingga ia dapat melewati tahapan ini. Ketika ia telah berhasil melakukan taubat dengan benar dan ia telah selesai dari tahapan ini, ia bertekad memusatkan diri untuk beribadah. Kemudian ia berfikir, karena ternyata di sekelilingnya terdapat rintangan-rintangan yang dapat memalingkannya, yang mana setiap rintangan itu dapat memalingkannya dari tujuan ibadah dengan berbagai macam tipudaya rintangan itu. Setelah ia cermati, ternyata rintangan-rintangan itu ada 4 macam : 1. Dunia 2. Makhluk 3. Setan 4. Nafsu Kemudian ini pun menjadi keharusan baginya untuk menolak dan menangkis keempat rintangan tersebut. Jika tidak, maka ia tidak bisa sampai pada tujuan ibadah. Dari sini, sampailah ia pada tahapan penghalang (‘aqobatul ‘awaaiq). Untuk dapat melewatinya ia membutuhkan 4 perkara juga, yaitu : 1. Membebaskan diri dari dunia 2. Menyepi dari makhluk 3. Memerangi setan 4. Mengendalikan hawa nafsu Mengendalikan hawa nafsu merupakan perjuangan yang paling berat karena manusia tidak mungkin melepaskan diri dari nafsu tersebut, juga tidak mudah untuk mengendalikan nafsu dengan sekali usaha dan nafsu tidak bisa ditumpas layaknya setan. Karena nafsu juga merupakan kendaraan dan alat bagi manusia, namun ia juga tidak boleh menuruti keinginan hawa nafsu untuk meraih tujuan ibadah. Karena wataknya yag selalu melawan kebaikan, seperti bermain-main dan selalu ingin dituruti kemauannya. Dengan demikian, maka seseorang perlu menyetirnya dengan kendali taqwa agar nafsu tetap ada, tapi tidak mampu membuat dan menuntun kepada suatu hal. Apabila begini, nafsu tidak akan mampu bergejolak lagi. Oleh sebab itu, ia dapat menggunakan nafsu untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan meraih petunjuk-petunjuk. Bahkan dapat mencegah dari kebinasaan dan kekacauan. Pada saat ia ingin melewati tahapan ini, haruslah melakukan hal-hal di atas dan meminta pertolongan kepada Allah yang agung dalam penyebutan namanya. Ketika seseorang telah melaluinya dan kembali pada tujuan ibadah, ternyata muncul rintangan-rintangan lagi yang mengganggunya agar hilang kefokusannya dari tujuan ibadah dan mencegahnya untuk total dalam melaksanakan tujuan ibadah sebagaimana mestinya. Setelah dicermati, ternyata rintangan itu ada 4 : 1. Rizqi, nafsu selalu menuntut rizqi. Ia (nafsu) berkata, “Rizqi dan kebutuhan pokok merupakan kebutuhan yang harus aku penuhi, sementara kamu telah melepaskan diri dari dunia dan mengasingkan diri dari makhluk. Maka, dari manakah datangnya kebutuhan pokok dan rizqiku?” 2. Gerak hati, terhadap segala sesuatu yang ditakutinya, harapan, keinginan dan kebenciannya. Sementara ia tidak tahu akan baik dan rusaknya hal tersebut, karena akibat dari perkara itu tidaklah jelas. Kemudian hatinya menjadi penuh dengan persoalan karena bisa jadi ia akan terjatuh dalam kehancuran dan kebinasaan. 3. Berbagai macam kesulitan dan musibah menderanya dari berbagai arah. Terlebih ia telah mengambil sikap berbeda dengan makhluk, memerangi setan dan melawan hawa nafsu. Betapa banyak deraan melukainya, begitu banyak kesulitan yang dihadapinya, begitu banyak kesedihan yang mengganggunya dan begitu banyak cobaan yang dialaminya. 4. Ketetapan-ketetapan Allah SWT, baik yang manis ataupun pahit silih berganti mengenai dirinya dari waktu ke waktu. Padahal nafsu selalu mendorong pada kebencian dan melancarkan fitnah. Dari sini, ia menghadapi tahapan empat godaan (‘aqobatul ‘awaridl al-arba’ah). Untuk menaklukkan tahapan ini, seseorang memerlukan 4 perkara : 1. Tawakkal kepada Allah SWT dalam persoalan rizqi. 2. Pasrah kepada Allah Jalla Wa ‘Azza bila muncul gerak hati. 3. Bersabar saat menghadapi berbagai macam kesulitan. 4. Ridlo dengan ketetapan Allah. Maka ia melewati tahapan ini dengan izin dan kekuatan (pertolongan) Allah. Setelah selesai dalam tahapan ini dan kembali pada tujuan ibadah, ternyata ia dapati keinginannya mengendor, lemah, malas, tidak bergairah dan tidak terbangun untuk melakukan kebaikan sebagaimana mestinya. Nafsu selalu mendorongnya untuk lalai, berhenti melakukan aktifitas, bersantai-santai, bahkan justru mendorongnya pada keburukan, sikap berlebih-lebihan dan bertindak bodoh. Oleh sebab itu, ia membutuhkan motivator yang mendorongnya melakukan kebaikan, ketaatan dan sesuatu yang menjadikannya bersemangat yang mampu mencegahnya dari melakukan kejelekan dan kemaksiatan, serta sesuatu yang dapat melemahkan keduanya. Motivator itu adalah : 1. Ar-Roja’ (mengharap kenikmatan dari Allah) 2. Al-Khouf (takut terhadap adzab Allah) Roja’ adalah harapan terhadap agungnya pahala dari Allah SWT dan keindahan janji-janjinya yang berupa berbagai macam kemuliaan. Mengingat akan hal tersebut merupakan motivator yang mendorongnya untuk taat, menggerakkannya, serta membangkitkan semangatnya. Sedangkan khauf adalah takut terhadap pedihnya siksaan Allah serta takut terhadap ancamannya, yang berupa berbagai macam siksaan dan kehinaan yang amat memilukan. Hal ini merupakan pemicu semangat untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan dan hal-hal yang dilarang. Inilah yang dinamakan dengan tahapan motivator (‘aqobatul bawaits). Inilah tahapan berikutnya yang dihadapi oleh seseorang yang tengah menempuh jalan ibadah. Ia pun harus bisa melewatinya dengan dua perkara tersebut (roja’&khouf) dan dengan memohon taufiq serta pertolongan dari Allah SWT. Ketika ia dapat melewati tahapan ini, lalu kembali fokus terhadap pelaksanaan ibadah, ia tidak melihat sesuatu yang memalingkannya dan yang dapat mengganggunya. Akan tetapi, justru telah mendapatkan motivator pendorong semangat dalam beribadah. Ia menjadi dapat menunaikan ibadah dengan penuh kerinduan dan kecintaan secara terus-menerus. Namun ternyata muncul dalam ibadah agung ini dua buah bencana besar, yaitu : 1. Riya’ (sifat pamer). 2. ‘Ujub (sifat membanggakan diri). Terkadang muncul riya’ terhadap manusia dalam ketaatannya, sehingga rusaklah ketaatan itu. Sementara di lain waktu ketika ia dapat menepis unsur riya’ dan dapat mengecam hawa nafsunya, muncullah perasaan ‘ujub dalam hatinya yang mampu membuat rusak dan menghancurkan ibadahnya. Inilah tahapan berikutnya, yaitu tahapan pencemar ibadah (‘aqobah al-qowadih). Seseorang mesti melaluinya dengan jalan keikhlasan, mengenang anugrah dan lainnya agar kebaikan yang ia lakukan tidak tercemar. Untuk melewati tahapan ini pula, dengan izin Allah SWT, dengan cara penuh kesungguhan, kewaspadaan, dan kesadaran berkat kebaikan penjagaan Allah Yang Perkasa, serta bertaqwa kepada-Nya. Ketika ia dapat menyelesaikan tahapan ini, maka ia dapat beribadah dengan semestinya dan terbebas dari berbagai bahaya. Akan tetapi, ketika ia melakukan perenungan, ia menjadi tahu bahwa ternyata ia tenggelam dalam lautan anugrah Allah dan kekuasaan-Nya seperti banyaknya nikmat Allah padanya yang berupa selalu mendapatkan taufiq, penjagaan, berbagai macam ketaqwaan, pemeliharaan dan kemuliaan. Sehingga membuatnya takut bila ia lalai dalam bersyukur yang menyebabkan ia tersungkur dalam kekufuran dan membuatnya terjatuh dari derajat yang tinggi itu, yaitu derajat pengabdian orang-orang yang ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia pun takut akan hilangnya nikmat-nikmat yang mulia berupa berbagai macam kelembutan-kelembutan Allah SWT dan kebaikan pandangan Allah kepadanya. Dari sini, ia menghadapi tahapan puji dan syukur (‘aqobah al-hamdi wa al-syukri). Maka ia harus melalui tahapan ini melalui banyak-banyak memuji dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Ketika ia dapat menyelesaikan dan melalui tahapan ini, tiba-tiba ia telah berada pada puncak tujuan yang dicita-citakannya. Hanya tinggal sedikit lagi ia sampai pada kemudahan menggapai anugrah besar, padang kerinduan dan lautan kecintaan. Kemudian sampailah ia pada taman keridhaan dan kebun ketentraman, derajat kedekatan, majlis munajat, serta memperoleh mahkota dan berbagai macam kemuliaan. Ia merasa nyaman dalam kondisi ini. Ia dapat melalui hari-hari dan sisa usianya dengan bergaul dengan seseorang di dunia, tetapi hatinya di akhirat. Sehingga ia merasa jemu terhadap semua makhluk dan memandang kotor dunia. Ia ingin segera mati meyempurnakan kerinduan di suatu tempat yang tinggi di sisi Allah (mala' al-a’laa). Tiba-tiba tanpa ia sadari, ruhnya telah bersama utusan-utusan Allah yang memberikan kesenangan, kegembiraan dan keridhaan dari sisi-Nya dengan penuh keridhaan tanpa sedikit pun mendapat kemurkaan-Nya. Lalu para utusan itu memindahkannya dalam kondisi jiwa yang bagus, penuh kegembiraan dan ketentraman dari dunia fana yang penuh dengan fitnah menuju kehadirat Ilahi dan menetap di taman surga. Ia pun melihat dirinya yang lemah memperoleh anugrah kenikmatan yang kekal, singgasana kerajaan yang besar dan mengagumkan. Disana ia mendapatkan dari Tuhannya yang Maha Penyayang, yang Maha Memberi dan Maha Mulia berupa kasih sayang, kelembutan, dianugrahi kenikmatan-kenikmatan dan kemuliaan yang tidak bisa digambarkan oleh siapa pun. Setiap hari itu semua terus bertambah untuk selama-lamanya. Betapa besar keberuntungannya, alangkah tinggi kerajaan yang diraih seorang hamba yang beruntung, seorang yang berbahagia, keadaan yang terpuji dan tempat kembali yang sempurna. Kita memohon kepada Allah yang Maha Baik serta Maha Penyayang agar berkenan memberikan anugrah dan nikmat yang besar kepada kita. Dan itu semua bagi Allah sangatlah mudah. Dan semoga Allah tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang tidak mendapatkan bagian, serta semoga kita tidak termasuk orang yang mendengar, mengetahui, dan berharap dengan tanpa mendapatkan manfaat. Dan semoga Allah tidak menjadikan ilmu yang kita pelajari sebagai hujjah yang mengalahkan kita kelak di hari kiamat. Semoga Allah memberikan pertolongan untuk mengamalkan hal tersebut sebagaimana yang disukai dan diridloi-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara para penyayang dan Maha Mulia di antara yang mulia. Semoga sholawat dan salam kemuliaan senantiasa dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga beliau. Demikianlah urutan kronologi dalam beribadah yang telah diilhamkan Allah kepadaku. Maka sekarang ketahuilah -dengan memohon pertolongan dari Allah SWT- bahwa secara garis besar ada 7 tahapan, yaitu : 1. Tahap ilmu 2. Tahap taubat 3. Tahap penghalang 4. Tahap godaan 5. Tahap motivator 6. Tahap pencemaran 7. Tahap puji dan syukur Dengan membahas 7 tahapan di atas secara sempurna, maka selesailah kitab Minhajul ‘Abidin Ilal Jannah. Kini kami mengikuti tahapan-tahapan itu dalam memberikan penjelasan lafadz untuk memberikan penjelasan yang dimaksud. Masing-masing tahapan akan kami kupas dalam bab tersendiri, insya Allah. Allah SWT, Dia-lah yang menganugerahkan taufiq dan memberikan anugerah-Nya. Tiada daya dan kekuatan melainkan atas pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.